GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Dugaan Kejanggalan Pengelolaan Dana Desa di Purwakarta, Nomenklatur Ganda Picu Kecurigaan

Ilustrasi

SIDIKJARI — Dugaan kejanggalan dalam pengelolaan keuangan desa kembali mencuat ke permukaan. 

Salah satu desa di Kabupaten Purwakarta tercatat mencantumkan dua nomenklatur kegiatan yang sama, namun dengan nilai anggaran berbeda dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius terkait transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran desa, yang seharusnya mengikuti prinsip dasar pengelolaan keuangan sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018. 

Dalam regulasi tersebut ditegaskan, setiap nomenklatur kegiatan harus unik, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Agus Yasin, pemerhati kebijakan publik dan pengelolaan dana desa, menyoroti praktik pencatatan ganda tersebut. 

Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan duplikasi anggaran serta membuka celah bagi penyalahgunaan dana desa.

“Kalau ada dua kegiatan dengan nama yang sama, tetapi nilainya berbeda, itu tidak bisa dibenarkan. Seharusnya kegiatan tersebut dipilah ke dalam sub kegiatan yang lebih rinci, misalnya berdasarkan lokasi atau obyek. Jika tidak, publik wajar menduga ada sesuatu yang ditutupi,” ungkap Agus, Senin (15/9/2025).

Agus menjelaskan, dalam sistem penganggaran, perbedaan nilai dalam sub kegiatan masih dapat diterima selama perinciannya jelas dan sesuai kebutuhan. 

Namun, pengulangan nomenklatur yang sama tanpa pemisahan teknis justru menyalahi kaidah administrasi dan bisa menjadi indikasi kuat penyimpangan.

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa pengelolaan Dana Desa harus mengedepankan prinsip akuntabilitas. 

Mengingat anggaran desa menyentuh langsung kehidupan masyarakat, setiap rupiahnya harus dikelola dengan transparan.

“Inspektorat Purwakarta, BPD desa terkait, serta aparat penegak hukum didesak untuk menelusuri kejanggalan ini. Agar tidak berkembang menjadi skandal penyalahgunaan dana publik,” tegasnya.

Namun, Agus juga menyuarakan keprihatinan atas rendahnya kepercayaan publik terhadap keseriusan aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus-kasus serupa. 

Menurutnya, banyak pihak menilai bahwa meskipun ada indikasi pelanggaran, penyelesaian kerap dibungkus dengan dalih Restorative Justice (RJ).

“Alih-alih menegakkan hukum secara tegas, mekanisme RJ kerap dipelintir menjadi alasan penghentian perkara, sehingga menimbulkan kesan bahwa pelaku justru dilindungi,” tambahnya.

Ia pun mengingatkan agar prinsip keadilan restoratif tidak disalahartikan atau dimanipulasi.

“Jangan sampai *Restorative Justice* berubah menjadi *Restorative Just Trick*. Sekadar trik hukum, untuk meloloskan mereka yang bermain-main dengan uang rakyat,” ucap Agus lantang.

Dana Desa, tegasnya, bukanlah ruang eksperimen apalagi “celengan tersembunyi” bagi oknum tertentu. Setiap anggaran harus memiliki tujuan yang jelas, pelaksanaan yang transparan, dan pelaporan yang akuntabel.

“Publik berharap agar praktik seperti ini tidak lagi terjadi. Setiap Kepala Desa dan perangkatnya benar-benar mematuhi aturan, bukan justru mencari celah dari kelemahan sistem administrasi,” pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak pemerintah desa maupun Inspektorat Kabupaten Purwakarta terkait temuan tersebut.

Komentar0

Type above and press Enter to search.