SIDIKJARI- Tahun 2023 hingga 2024 seharusnya menjadi masa panen hasil kebijakan ketahanan pangan desa.
Dana mengalir, aturan berlapis, rapat demi rapat digelar. Sayangnya, yang benar-benar panen justru kertas laporan, bukan padi di sawah atau ternak di kandang.
Di atas meja, ketahanan pangan hewani dan nabati terlihat luar biasa. Angkanya rapi, fotonya estetik, narasinya penuh kata “pemberdayaan”.
Tapi di lapangan, warga masih setia pada menu lama: harap-harap cemas. Ternak bantuan konon ada, tapi tak pernah bersuara. Tanaman pangan katanya ditanam, tapi tak pernah dipanen bersama.
Hasil evaluasinya? Program dinilai berjalan. Entah berjalan ke mana. Yang jelas, tidak berjalan ke dapur warga. Ketahanan pangan pun sukses dipertahankan bukan dari krisis, tapi dari pengawasan.
Lucunya, setiap ditanya, jawabannya selalu sama dari tahun ke tahun:“Sudah direalisasikan.”“Sudah sesuai aturan.”“Sudah ada dokumentasi.”
Dokumentasinya memang kuat. Sangat kuat. Sampai-sampai mampu menggantikan fungsi beras, daging, dan sayur. Mungkin ke depan warga cukup makan print-out LPJ, asal distempel basah.
Maka wajar jika publik mulai berpikir:Di tahun 2023–2024, ketahanan pangan desa bukan tentang ketersediaan pangan, melainkan tentang ketahanan sistem dalam menghindari pertanyaan.
Karena di desa, yang benar-benar tahan bukan panganmelainkan alasan.
Komentar0