GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Seragamnya Wajib, Surat Edaran Larangan Gubernur Cuma Dekorasi Dinding?

Ilustrasi

SIDIKJARI- Setiap tahun ajaran baru datang, para orang tua tidak hanya sibuk cari sepatu yang ukurannya pas atau buku tulis yang tebalnya sesuai.

Ada dua kata yang bikin jantung mereka berdebar lebih kencang dari alarm subuh: daftar ulang dan… daftar harga seragam.

Ya, seragam sekolah. Konon katanya sih, simbol kedisiplinan, kekompakan, dan kesetaraan. 

Tapi di dunia nyata, seragam juga jadi simbol lain: ujian ketebalan dompet. Terutama kalau anak masuk sekolah negeri ya, sekolah negeri yang katanya gratis itu.

Lucu ya? Sekolah negeri yang digadang-gadang “bebas biaya” justru sering menjadi tempat transaksi seragam paling aktif. 

Tapi sepertinya, surat itu cuma jadi hiasan di dinding ruang kepala sekolahdipajang, tapi tidak dijalankan.

Kata sekolah, mereka tidak jualan. “Itu koperasi, Bu.”

Kata koperasi, mereka hanya membantu. “Supaya seragamnya seragam, Pak.”

Kata orang tua? “Kalau nggak beli, anak saya nanti dibilang nggak kompak.”

Kompak? Jangan-jangan yang kompak justru sistem jual beli terselubungnya.

Gubernur Jawa Barat bahkan sudah capek-capek bikin Surat Edaran yang melarang sekolah menjual seragam. 

Tapi sepertinya, surat itu lebih cocok jadi hiasan dinding mungkin dipigura dan dipajang di ruang kepala sekolah, biar tamu tahu bahwa mereka tahu aturan, meskipun tidak menjalankannya.

Dan praktiknya? Orang tua tetap diwajibkan membeli paket seragam* lengkap: seragam harian, batik, olahraga, Jumat rohani, bahkan seragam “hari tak jelas”. 

Harganya? Bisa tembus jutaan rupiah. Serius, kadang lebih mahal dari biaya kuliah semesteran anak kos.

Kalau ada orang tua nekat mau jahit sendiri di pasar? Secara teori sih boleh. Tapi anaknya nanti dianggap “nggak satu warna”, “nggak kompak”, atau versi lebih halusnya: “kurang menghargai aturan sekolah.”

Aneh ya, negara sibuk kampanye Merdeka Belajar, tapi yang paling merdeka justru praktik jual beli seragam. Seragam yang harusnya alat bantu belajar malah jadi alat ukur status ekonomi.

Jadi, mari kita bertanya: seragam ini untuk pendidikan, atau untuk parade mode? Kalau memang seragam penting, kenapa nggak kasih kebebasan orang tua beli di mana saja? Yang penting warnanya cocok, modelnya sama, dan yang paling penting anaknya bisa belajar dengan nyaman, bukan dengan rasa minder.

Jangan-jangan, yang sebenarnya kompak itu bukan muridnya, tapi sistem jual beli seragam yang sudah mengakar rapi. 

Dari sekolah, ke koperasi, ke supplier langganan. Semua saling jaga harmoni, kecuali dompet orang tua.

Kalau sekolah benar-benar ingin membentuk karakter dan integritas, kenapa justru dimulai dengan praktik setengah transparan?

Sudah saatnya seragam dikembalikan ke fungsi aslinya: untuk menyederhanakan, bukan mempersulit. 

Untuk menyamakan, bukan mempertegas jurang sosial. Dan yang pasti: bukan untuk jadi ladang bisnis berkedok “kekompakan”.

Karena pendidikan itu harusnya membebaskan, bukan membebani.


Komentar1

  1. Selain seragam masih ada iuran dari uang kas..iuran kegiatan keagamaan yang peruntukanya gak jelas..memang sih nominalnya gak besar .tapi saat ini seribu rupiahpun kalo lagi gak ada ..ya begitulah ...

    BalasHapus

Type above and press Enter to search.