Katanya, dana desa digelontorkan demi kemajuan desa. Tapi yang maju, kok malah rumah pak kades? Jalan desa masih berlubang, tapi mobil kepala desa mulus tak ada gores.
Pembangunan balai desa katanya untuk rakyat, tapi rakyat masuk saja harus izin dulu lebih susah dari masuk kantor menteri.
Setiap tahun, miliaran rupiah dikucurkan ke desa-desa. Tapi entah menguap ke mana. Apakah masuk ke jalan, atau hanya jalan-jalan?
Apakah dibelanjakan untuk kebutuhan warga, atau hanya kebutuhan pribadi yang mendadak jadi ‘kebutuhan desa’?
Tak sedikit papan proyek berdiri gagah, sementara hasilnya tak pernah kelihatan. Papan boleh ada, proyek boleh fiktif. Mungkin desa sedang membangun ilusi, bukan infrastruktur.
Ironisnya, saat warga bertanya soal dana desa, jawabannya selalu sama: “Sudah sesuai prosedur.” Prosedurnya siapa? Prosedur untuk memperkaya diri?
Di sisi lain, transparansi penggunaan dana desa masih menjadi pekerjaan rumah besar. Ketika warga bertanya, kadang jawabannya justru adalah kecurigaan.
Padahal, keterbukaan bukan ancaman melainkan jantung dari kepercayaan publik.
Kalau dana desa adalah jembatan untuk kemajuan, kenapa masih banyak desa yang terperosok ke dalam ketertinggalan?
Mungkin karena jembatannya tak pernah dibangun, atau sudah dibangun tapi mengarah langsung ke halaman rumah oknum.
Komentar0