GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Gaji dari Rakyat, Janji ke Tuhan, Tapi Sering Bohong

Ilustrasi

SIDIKJARI- Ada sebuah profesi mulia di negeri ini. Tugasnya melayani, gajinya dari rakyat, sumpah jabatannya langsung di depan Tuhan. 

Tapi uniknya, semakin tinggi jabatannya, semakin luwes pula kemampuan aktingnya. Jangan salah, ini bukan profesi di dunia hiburan, meski bakat dramanya bisa bikin iri aktor teater.

Ya, itulah pejabat publik kita tercinta.

Mereka bangun pagi, bukan untuk menjemput aspirasi rakyat, tapi untuk memastikan jas dan dasi matching dengan pencitraan hari ini. 

Ada yang sibuk potong pita, ada yang pamer jalan tol, dan tentu, tak lupa unggahan penuh senyum di media sosial: “Bekerja untuk rakyat!”  lengkap dengan emoji tangan berdoa.

Padahal rakyatnya masih antri minyak goreng.

Setiap bulan, mereka menerima gaji yang bersumber dari keringat rakyat. Tapi jangan berharap pelayanan sekelas pegawai customer service. 

Di kantor, rakyat dianggap tamu tak diundang. Tanya sedikit, dianggap nyinyir. Kritik dikit, dilabeli buzzer. 

Lucunya, mereka ini mengaku “pelayan rakyat”. Tapi pelayan macam apa yang muncul hanya saat ada kamera, lalu hilang saat rakyat butuh pertolongan?

Mari kita ingat kembali momen sakral itu: tangan kanan terangkat, tangan kiri memegang kitab suci, lalu mengucapkan sumpah jabatan dengan khidmat.

“Demi Tuhan, saya bersumpah akan menjalankan tugas dengan jujur, adil, dan setia kepada negara...”

Dengar itu, Tuhan mungkin tersenyum. Tapi beberapa bulan kemudian, Tuhan pun bisa geleng-geleng kepala. Karena ternyata, janji kepada-Nya lebih sering dianggap seperti janji temu yang bisa dibatalkan sepihak.

“Maaf Tuhan, saya khilaf. Tapi kan saya manusia biasa...”

Iya, manusia biasa yang sangat luar biasa... lihai berdalih, pandai mengelak.

Di dunia mereka, berkata jujur adalah pilihan terakhir. Karena berkata bohong jauh lebih efisien. Hari ini bilang “harga tidak akan naik”, besoknya harga naik. Hari ini janji “tidak akan korupsi”, seminggu kemudian OTT.

Hebatnya, tiap tertangkap, selalu ada alasan klasik: “Saya dijebak.”

Jebakan siapa, Pak? Tikus?

Tak hanya itu, mereka punya jurus pamungkas: nangis di depan kamera. Katanya, demi keluarga. 

Demi anak-anak. Tapi saat mengambil uang rakyat, kok tak pernah ingat keluarga rakyat yang kelaparan?

Kita tidak marah kalau pejabat salah. Kita paham, manusia bisa khilaf. Tapi ketika kebohongan jadi budaya, dan janji tinggal slogan, maka kritik bukan lagi pilihan, tapi kewajiban.

Karena lucu rasanya: gaji dari rakyat, janji ke Tuhan, tapi kelakuan... ah, Anda tahu sendiri.

Kalau memang tak kuat menahan godaan jabatan, mungkin sudah waktunya berhenti. Dunia hiburan lebih cocok setidaknya kalau bohong, kita tahu itu hanya akting.

Disclaimer.

Tulisan ini bukan untuk pejabat yang jujur, kalau masih ada. Tapi kalau Anda merasa tersinggung... ya, mungkin kita sedang berbicara tentang Anda.


Penulis: Panuntun Catur Supangkat
Sekretaris Pospera Purwakarta

Komentar0

Type above and press Enter to search.