GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Sekda Majalengka Pilih Tidur Nyenyak? Warga Disuruh Tunggu Mimpi di Depan Pintu

Ilustrasi

SIDIKJARI- Publik Majalengka dikejutkan dengan peristiwa sederhana namun menyakitkan, sekelompok warga yang datang ke kantor Sekretariat Daerah dengan niat menyampaikan keluhan, justru pulang dengan kecewa karena sang Sekretaris Daerah (Sekda) tidak bisa ditemui. Alasannya? Sedang istirahat.

Sekilas, ini tampak sepele. Tapi jika kita selami lebih dalam, kejadian ini menyentil nurani kita sebagai masyarakat, dan juga seharusnya jadi tamparan bagi para pejabat publik. 

Karena sesungguhnya, pejabat bukan hanya bertugas di balik meja dan laporan, tetapi di hadapan rakyat yang mempercayakan aspirasinya.

Tak ada yang salah dengan beristirahat. Semua manusia membutuhkannya. Namun, menjadi pejabat publik berarti siap sedia dalam kapasitas sebagai pelayan rakyat, apalagi ketika rakyat sudah datang langsung ke depan pintu. 

Ketika warga sudah melangkahkan kaki ke kantor pemerintahan mungkin dengan harapan yang besar, dengan beban keluhan di pundak maka yang dibutuhkan bukan pintu tertutup, tapi telinga terbuka.

Memilih istirahat saat rakyat datang bukan hanya soal etika, tapi soal prioritas. Apakah seorang pejabat sekelas Sekda masih menganggap kehadiran warga sebagai hal penting? Atau justru melihatnya sebagai gangguan pada jadwal pribadi?

Peristiwa ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana jarak antara rakyat dan pejabat terus melebar. 

Di atas kertas, semua jabatan publik lahir dari konsep pelayanan. Tapi dalam praktik, seringkali justru rakyat harus ‘mengemis perhatian’ kepada orang-orang yang digaji oleh uang mereka sendiri.

Lebih ironis lagi jika alasan seperti "istirahat" menjadi tameng untuk menghindari interaksi langsung. Lalu kapan rakyat bisa berharap didengar, jika pada saat datang pun ditolak?

Kejadian ini harus menjadi momentum evaluasi. Bukan untuk menyudutkan satu individu, tetapi sebagai refleksi bersama bahwa sistem pemerintahan yang sehat dibangun dari keterbukaan, bukan dari sekat-sekat birokrasi yang dingin dan kaku.

Seorang Sekda memang bukan satu-satunya pengambil keputusan, tapi posisinya strategis dalam urusan administrasi pemerintahan. Ia seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok.

Penulis: Rojan
Wartawan SIDIKJARI- Majalengka

Komentar0

Type above and press Enter to search.