SIDIKJARI- Musim proyek kembali tiba. Di berbagai sudut kota dan desa, papan-papan proyek mulai berdiri gagah: “Proyek ini dibiayai dari APBD”.
Huruf kapital, warna cerah, lengkap dengan nomor kontrak. Sepintas seperti lambang kemajuan.
Tapi bagi yang paham, papan itu bisa juga dibaca sebagai pengumuman tak resmi: "Pesta akan segera dimulai!"
Ya, pesta anggaran.
Aparatur Sipil Negara (ASN) sejatinya adalah pelayan rakyat. Tapi dalam dunia proyek, mereka sering berubah peran.
Mendadak jadi manajer proyek, juru runding tender, bahkan konsultan informal bagi pihak ketiga.
Mereka tahu segalanya: dari siapa yang akan menang, berapa nilai markup, sampai siapa yang harus diam.
Lucunya, semua berjalan mulus atas nama “mekanisme”. Padahal yang namanya formalitas bisa disulap seperti sulap jalanan: kelihatan sah, tapi tidak benar-benar bersih.
Tentu tidak semua ASN seperti itu. Tapi, aneh juga jika proyek-proyek besar selalu jatuh ke pemain yang "itu-itu saja".
Mungkin memang karena mereka paling “kompeten” kompeten membaca situasi, tentu saja.
Peran pihak ketiga dalam proyek APBD sangat penting mereka yang mengerjakan di lapangan.
Tapi entah kenapa, banyak dari mereka yang justru lebih dekat ke kekuasaan daripada ke lokasi proyek itu sendiri. Kantor mereka bisa di luar daerah, tapi koneksinya luar biasa.
Tender? Ah, itu cuma formalitas. Yang penting sudah "diatur", dan semua senang. Pemenang tender kadang malah belum tahu detail proyeknya, tapi tenang saja, nanti diborongkan lagi ke subkontraktor ke-2, ke-3, hingga ke-4.
Ujung-ujungnya, anggaran yang tersisa cukup untuk bangunan asal jadi dan cat yang cepat mengelupas.
Dan jangan lupa, proyek belum selesai pun, plang sudah dilepas. Mungkin takut dilihat rakyat. Atau takut ditanya kenapa hasilnya seperti bekas ujian mendadak.
Yang paling tragis, uang rakyat dikelola seperti milik pribadi. Penentuan proyek kadang lebih didasarkan pada kedekatan dan “jatah” ketimbang kebutuhan.
Jalan yang masih bagus diaspal ulang, sekolah yang rusak malah dilewati. Semua demi penyerapan anggaran bukan demi manfaat.
Padahal masyarakat hanya ingin satu hal: hasil nyata. Tapi yang mereka dapat hanya debu proyek, jalan rusak yang diperbaiki setengah hati, dan bangunan yang roboh sebelum dipakai.
Tapi jangan khawatir, laporan akhir tetap rapi. Karena di atas segalanya, yang penting adalah: administrasi beres.
Proyek APBD adalah hak rakyat. Tapi dalam praktiknya, rakyat justru seperti penonton bahkan sering tidak diundang ke “panggung pembangunan”.
Mereka hanya bisa menonton dari balik pagar proyek, berharap sesuatu yang baik terjadi. Sayangnya, sering kali yang datang hanyalah tumpukan semen dan janji-janji manis.
Mungkin sudah saatnya papan proyek ditulis lebih jujur:
“Proyek ini dibiayai dari APBD. Jika tidak sesuai, mohon maaf, itu urusan nanti.”
Komentar0