GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Dari Gosip Warung Kopi ke Meja Kekuasaan: Siapa Bakal Jadi Sekda?

SIDIKJARI- Ada yang menarik setiap kali aroma pergantian pejabat tercium di Purwakarta. 

Bukan cuma kabar yang menyeruak, tapi juga aroma kopi yang tiba-tiba jadi lebih tajam di warung pinggir jalan. 

Entah kenapa, setiap kali posisi Sekda mulai ramai dibicarakan, warung kopi terasa seperti ruang rapat darurat lengkap dengan analisis politik, gosip ASN, dan bisikan 

"katanya Bupati lagi nyari yang bisa nyeduh cepat tapi nggak bikin pahit."

Menjadi Sekda, dalam kacamata rakyat kecil, mungkin tampak seperti jabatan administratif belaka. 

Tapi di meja politik, kursi itu lebih mirip mesin espresso: siapa yang duduk di situ harus tahu tekanan, suhu, dan waktu yang pas. 

Salah seduh sedikit, bisa gosong semua. Terlalu lama, keburu dingin kehilangan rasa dan makna. 

Tapi pada akhirnya, rasa akhir tetap ditentukan oleh siapa baristanya alias siapa yang pegang teko kekuasaan. Sebab di dunia birokrasi, kualitas kadang kalah oleh selera politik.

Ironisnya, masyarakat jarang menyesap hasil seduhan sampai tuntas. Kita hanya mencium aromanya dari jauh, menebak rasanya lewat gosip yang berseliweran. 

Padahal, bisa jadi rasa pahit yang kita keluhkan bukan dari kopinya, tapi dari air yang sejak awal memang keruh air sistem yang tak pernah disaring.

Di sisi lain, pejabat sibuk mengatur takaran: berapa banyak loyalitas yang harus dicampur dengan profesionalisme, dan seberapa kental “hubungan baik” yang perlu diseduh agar jabatan terasa pas di lidah kekuasaan. 

Sementara rakyat, cukup disuguhi kopi dingin bernama “transparansi”, yang sering kali habis sebelum sempat dirasakan.

Menjadi Sekda seharusnya bukan soal siapa yang paling lihai menyeduh kata di rapat, tapi siapa yang paling paham rasa rakyat di dasar cangkir. 

Karena kalau pemimpin cuma sibuk menakar gula politik, bukan memperbaiki air kebijakannya, maka hasilnya selalu sama: kopi pahit yang disalahkan bijinya.

Maka, menjelang keputusan siapa yang akan “diseduh” Bupati, mari kita tenangkan diri sejenak. 

Tak semua kopi enak berasal dari biji mahal; yang penting airnya jernih dan baristanya jujur. 

Begitu pula pemerintahan tak perlu banyak janji aroma manis, cukup kerja nyata tanpa ampas.

Sebab pada akhirnya, yang membedakan barista sejati dari pemain pura-pura adalah satu hal sederhana: dia tahu kapan harus berhenti mengaduk dan mulai menyajikan rasa.


Komentar0

Type above and press Enter to search.