SIDIKJARI- Inspektorat, di atas kertas, adalah benteng terakhir pengawasan internal pemerintah. Tapi dalam praktiknya, lembaga ini lebih mirip tukang arsip yang terlalu sibuk menghitung angka, hingga lupa bahwa tugas utamanya adalah bertindak.
Mereka datang ketika semuanya sudah telanjur rusak. Seperti petugas pemadam yang datang membawa ember kosong ke kobaran api.
Setiap tahun mereka rajin membuat laporan temuan lengkap dengan jumlah kerugian, detail pelanggaran, dan analisis yang terlihat canggih. Tapi ujung-ujungnya? Diam. Mandek. Mati rasa.
Apa gunanya menemukan pelanggaran, jika tak pernah ada keberanian untuk mengguncang kursi pelakunya?
Yang lebih menyedihkan: sering kali mereka tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Atau lebih buruk: tahu, tapi menunggu arahandari atas.
Ini bukan pengawasan, ini peliharaan. Lembaga yang seharusnya independen malah menjadi bagian dari sistem pembiaran.
Bayangkan saja: ketika ada dugaan anggaran diselewengkan, Inspektorat malah membuka “ruang klarifikasi” dan “pembinaan internal”. Bahasanya manis, tapi muatannya kosong.
Bahkan, Isu tentang oknum yang mengaudit tapi tempatnya di warung kopi atau tempat makan,sudah jadi rahasia umum di kalangan dinas
Kesalahan direspons dengan surat cinta, bukan dengan tindakan tegas. Pelaku diminta memperbaiki dokumen, bukan memperbaiki moral.
Dan ketika publik mulai berisik, media mulai menyorot, dan netizen mulai membongkar, barulah Inspektorat muncul.
Itupun hanya untuk berkata, “Kami sudah mengaudit sejak awal.” Ah, betapa mudahnya mencuci tangan dengan bahasa teknokratis.
Ini bukan lagi soal kinerja rendah. Ini soal embaga yang kehilangan nyali.
Apakah Inspektorat takut? Atau sudah terlalu nyaman menjadi alat formalitas belaka? Apakah mereka sengaja dibuat tumpul agar tidak mengganggu arus "pengamanan internal"?
Jika keberadaan mereka hanya untuk membaca angka dan membuat laporan yang tidak pernah ditindaklanjuti, maka lebih baik diganti saja dengan software.
Setidaknya software tidak kenal kompromi dan tidak bisa ditelepon “untuk ngobrol dulu”.
Kita tidak butuh Inspektorat yang hanya tahu tata bahasa birokrasi, tapi buta terhadap nilai integritas.
Kita butuh pengawas yang tajam, yang berani mengganggu zona nyaman para pelanggar, meskipun itu berarti menendang meja kekuasaan.
Karena kalau pengawas ikut bermain mata, maka jangan heran jika pelanggaran jadi budaya.
Penulis: Panuntun Catur Supangkat
Sekretaris DPC Pospera Purwakarta
Komentar0