SIDIKJARI- Adanya rencana mutasi, rotasi, promosi dan open bidding jabatan yang berhembus saat ini. Menjadi topik pembicaraan yang menarik di dikalangan masyarakat termasuk di lingkup Pemda Purwakarta sendiri.
Yang lebih santer lagi, di balik hembusanya muncul dugaan Bahwa rencana sirkulasi jabatan tersebut, dijadikan suatu momentum oleh individu tertentu yang diduga pula memiliki suatu pengaruh jabatan serta kelekatan emosional dengan figur pemegang kekuasaan sementara.
Terlepas benar tidaknya dugaan dimaksud. Yang patut diwaspadai dan diamati adalah kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu munculnya kembali dikotomi akibat hegemoni pejabat daerah di Purwakarta.
Alasan itu bisa didalihkan, pabila mencermati secara seksama dari aroma dan gelagatnya.
Pengingkaran etika pemerintahan daerah, pendominasian terlindungi penempatan jabatan yang dilatari "alma mater entity". Adalah penyakit yang harus diantisipasi, melalui upaya pendekatan radikal.
Sah sah saja selama tidak menabrak kepatutan dan kepatuhan serta stadarisasinya, persoalan itu bisa dikecualikan.
Akan tetapi jika mengukur dampak buruknya terhadap tata kelola pemerintahan yang baik, pembenarannya harus dikesampingkan.
Karena sangat dimungkinkan, jika pengingkaran itu difasihkan bisa terjadi gejolak tersembunyi, yang bukan mustahil pula menuai akibat hukum.
Sejatinya, Pj Bupati selaku pengendali dan sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah bisa berorientasi dengan situasi. Serta mampu mendeteksi setiap gelagat yang dapat merusak identitas dan citra positif daerah.
Problematika Purwakarta, bukan hanya menyangkut perlunya suatu pembenahan sistem dan tatanan pengelolaan pemerintahan daerah saja.
Persoalan lainnya pun tidak kalah penting untuk dibenahi. Termasuk kinerja pengelolaan keuangan daerah yang disinyalir kurang baik, serta besarnya hutang daerah yang membebani dan menjadi kewajiban mengikat.
Intinya, problematika dan dinamika yang terjadi di Purwakarta menjadi pertaruhan reputasi dan kredibilitas Pj Bupati, dalam mengemban tanggung jawabnya sebagai pengelola Pemerintahan Daerah sementara.
Perranyaannya, apakah Pj Bupati mampu menjadi "chain breaker" kelemahan pemerintahan masa lalu, atau selaliknya. Terkesan sebagai "legacy maker" yang tidak nyaman untuk pemerintahan yang akan datang.
Dan terhadap persoalan yang krusial, menyangkut isu kritis akan adanya "arrangement" penempatan jabatan. Yang didugakan "berbau" penguatan dominasi komunitasnya.
Jika itu dimungkinkan terjadi, dan tidak bisa untuk ditawar-tawar lagi.
Maka jelaslah, Purwakarta di masa transisi tersandera oleh "ethical harm". Dalam menerapkan sistem dan tatanan pengelolaan daerah, sesuai dengan prinsip dasar serta asas- asas umum pemerintahan yang baik.
Penulis: Agus M Yasin
Pengamat Kebijakan Publik
Komentar0