SIDIKJARI- Ada yang tidak beres di tubuh Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Majalengka.
Dalam situasi ekonomi yang menuntut efisiensi anggaran dan transparansi penggunaan uang rakyat, publik justru dikejutkan dengan fakta bahwa Rp 300 juta uang publik dialokasikan hanya untuk satu media online.
Rp 300 juta hanya untuk satu media.
Sementara puluhan media lokal lainnya—yang juga bekerja keras menyebarkan informasi dan menyuarakan program-program pemerintah daerah hanya bisa gigit jari.
Ini bukan lagi persoalan teknis atau “urusan internal”. Ini adalah persoalan keadilan, akuntabilitas, dan integritas.
Ketika anggaran sebesar itu dikucurkan hanya ke satu pihak, publik patut curiga, ada apa di balik semua ini?
Apakah ini bentuk balas budi politik?
Apakah media tersebut punya “kedekatan khusus” dengan pihak tertentu di internal Pemkab? Atau memang ada agenda terselubung untuk membungkam media lain dan hanya menyisakan satu saluran narasi tunggal?
Jika Diskominfo merasa ini hanya soal “kerja sama strategis”, maka mereka perlu membuka ke publik:
apa indikator strategisnya? Apa dampak konkret dari kerja sama ini terhadap keterbukaan informasi publik di Majalengka?
Lagi-lagi, masyarakat disuguhi ironi:
Anggaran jumbo digelontorkan ke satu media, sementara pemerintah daerah terus berbicara soal pemerataan, partisipasi publik, dan transparansi.
Model pengelolaan informasi seperti ini berpotensi membunuh ekosistem pers lokal yang sehat dan independen.
Kebijakan seperti ini bisa menjadi preseden buruk di masa depan, di mana media bukan lagi alat kontrol sosial, tapi hanya menjadi corong sepihak pemerintah.
Diskominfo Majalengka harus menjawab. Bukan dengan retorika, tapi dengan data dan itikad baik. Jika tidak, publik berhak menilai ini bukan sekadar tebang pilih, tapi praktik diskriminatif yang tak layak terjadi dalam pemerintahan yang mengaku demokratis.
Komentar0