GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Rp300 Juta untuk Wawancara Eksklusif: Warisan Mistis dari Pejabat Sementara

SIDIKJARI- Menanggapi kritikan ketua Yayasan Suara Masyarakat Majalengka (SMM) Asep Nurdiansyah di media online Sidikjari.co.id dengan judul "Wawancara Eksklusif 300 Juta: Antara Pencitraan dan Lubang Jalan yang Minta Perhatian", 

Pria yang akrab dengan sapaan Abah Bogel ini mengaku mendapat pesan klarifikasi WhatsApp dari Bupati Majalengka Eman Suherman tertanggal Jumat (27/06) yang tertulis

"Hebat rame Bah, mantaaplah bisaan ngaramekennamahnya, sebenarnya anggaran 300 jt itu, ya ngak begitu besar, untuk skala kegiatan yg levelnya nasional, anggaran yg dikeluarkan pemda itu untuk 2 kegiatan.

Pertama penyelenggaraan kegiatan detikom regional summit yang tempat nya di BIJB, bertajuk Investasi dan pengembangan Rebana, dan kemudian yg kedua biaya promosi pemda 1 tahun di media detik.

"Dan saya mendapat keterangan lagi dari para buzzer pendopo bahwa progeram tersebut adalah warisan dari pemerintahan sebelumnya," terangnya.

Dalam sebuah drama, anggaran yang lebih mirip sinetron politik ketimbang administrasi publik, para buzzer setia Bupati Majalengka kini tengah berjuang keras, bukan untuk membela kebijakan, tapi untuk menyalahkan waktu. Ya, waktu. Dan tentu saja, sang mantan Pejabat Sementara (PJ), yang kini menjadi kambing hitam demi pemimpin masa kini yang dicintai, 

"Menurut mereka, anggaran sebesar Rp300 juta yang digunakan hanya untuk satu wawancara dengan Detikcom bukanlah produk dari tangan tangan kekuasaan sekarang. Oh tidak. Itu semua warisan. Seperti peninggalan keris pusaka, atau naskah kuno yang entah kenapa, isinya selalu “biaya promosi pejabat dalam bentuk wawancara eksklusif”. Imbuhnya.

Dengan gaya penyangkalan khas ala zaman post-truth, para buzzer menyebar satu pesan utama: “Itu bukan salah kami, itu sudah dirancang PJ !” Tidak peduli bahwa pelaksanaannya terjadi di era Bupati aktif saat ini, dan hasil wawancaranya, entah mengapa menyanjung kepemimpinan yang sekarang. Rupanya wawancara itu sejenis mesin waktu: dibayar dari masa lalu, muncul di masa kini, dan mempromosikan masa depan.

Logikanya nyaris seajaib sinetron stripping: jika warisan anggaran itu buruk, salahkan yang lama. Tapi jika hasilnya manis dan menguntungkan citra, segera klaim sebagai prestasi Bupati hari ini.

Lucunya, lanjut Asep , saat publik bertanya mengapa perlu ratusan juta hanya untuk berbicara kepada media, para buzzer bupati pun refleks menjawab, “Itu harga profesionalitas.” Rupanya, harga bicara sekarang sudah setara dengan membangun satu balai desa. Tapi tentu, membangun opini jauh lebih penting ketimbang membangun fasilitas umum. Apalagi kalau opininya bisa bikin Bupati sekarang terlihat kinclong.

"Akhirnya, rakyat Majalengka hanya bisa merenung: apakah yang mahal itu wawancaranya, atau cara mengelaknya," tanya nya. (sal)

Komentar0

Type above and press Enter to search.