GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 Perlu Dikaji Ulang: Berpotensi Timbulkan Kegaduhan Baru di Dunia Pendidikan

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Kabupaten Purwakarta, Asep Sundu Mulyana

SIDIKJARI- Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Periodisasi Jabatan Kepala Sekolah menuai kritik tajam dari berbagai pihak. 

Regulasi ini dinilai tumpang tindih dengan sejumlah perundangan yang lebih tinggi serta berpotensi menimbulkan persoalan baru dalam tata kelola pendidikan nasional.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Kabupaten Purwakarta, Asep Sundu Mulyana, menilai peraturan ini tidak memiliki pijakan filosofis yang kuat dalam dunia pendidikan dan bahkan bisa bertentangan dengan UUD 1945, UU Sisdiknas, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta PP Nomor 19 Tahun 2017 dan turunannya.

“Jabatan kepala sekolah adalah penugasan birokrasi fungsional dari kepala daerah, bukan jabatan politik, bukan pula jabatan publik atau pejabat yang dipilih oleh rakyat. Perbandingan itu keliru,” ujar Asep dalam keterangannya, Selasa, (5/8/2025).

Asep menilai bahwa lahirnya Permendikdasmen No. 7/2025 justru memperburuk carut-marut dunia pendidikan. Ia menyebut kebijakan ini mencerminkan ketidakpahaman mendalam dari Kementerian Dikdasmen dalam memaknai sekolah secara kontekstual.

Secara yuridis, peraturan ini dianggap cacat karena menetapkan batas waktu jabatan kepala sekolah secara mutlak, tanpa memberi ruang evaluasi berdasarkan kompetensi dan kinerja. 

“Akibatnya, kepala sekolah berprestasi tetap harus diganti, meski tidak ada calon pengganti yang setara. Ini sangat tidak rasional,” tegasnya.

Selain itu, regulasi ini juga tidak memberikan definisi yang jelas terhadap istilah-istilah penting, sehingga berpotensi menimbulkan interpretasi ganda dan pelaksanaan yang tidak seragam di berbagai daerah.

Secara substansi, Asep menilai peraturan ini gagal menjawab persoalan utama dalam peningkatan mutu pendidikan. 

Pembatasan masa jabatan kepala sekolah tanpa mempertimbangkan kualitas kepemimpinan justru berisiko menurunkan stabilitas manajemen sekolah.

“Ini juga bertentangan dengan prinsip meritokrasi. Kinerja, integritas, dan inovasi diabaikan. Yang penting masa jabatan habis, lalu diganti. Ini sangat melemahkan semangat profesionalisme,” katanya.

Lebih lanjut, Asep mengingatkan bahwa tanpa adanya regulasi periodisasi pun saat ini banyak jabatan kepala sekolah yang kosong, karena sedikitnya guru yang bersedia menjabat posisi tersebut. 

“Jika dipaksakan dengan aturan ini, akan semakin sulit mencari pemimpin sekolah yang kompeten.”


 Asep mendesak pemerintah untuk segera mengkaji ulang Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025. 

Ia menilai perlu adanya dialog terbuka antara pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan di lapangan sebelum aturan ini diberlakukan lebih luas.

“Regulasi seharusnya menjadi solusi, bukan justru menciptakan masalah baru. Sudah saatnya pendekatan pendidikan dilakukan secara kontekstual dan berbasis kebutuhan nyata di lapangan,” pungkasnya.

Komentar0

Type above and press Enter to search.