SIDIKJARI- Mari kita bicara tentang inovasi kata suci yang seakan-akan bisa mengubah segala sesuatu menjadi lebih baik, seperti bubuk sakti yang ditebar dalam setiap pidato, proposal proyek, hingga rapat-rapat yang diakhiri dengan foto bersama dan jargon penuh semangat.
Tapi sebenarnya, inovasi itu untuk siapa?
Konon, inovasi diciptakan untuk masyarakat. Namun, anehnya, masyarakat sering menjadi pihak terakhir yang tahu, apalagi merasakan.
Yang pertama merasakan justru kelompok yang punya akses paling dekat: para pemilik tanda tangan, para perangkai jargon, dan para pengoleksi gelar “perintis perubahan” di bio media sosialnya.
Inovasi untuk masyarakat, katanya. Tapi ketika masyarakat mencoba mengakses layanan baru yang “berbasis digital”, mereka malah disambut dengan aplikasi yang lebih sering ngadat daripada sopir angkot saat macet.
Antrean online yang katanya efisien justru berubah menjadi pengalaman spiritual: menguji kesabaran, keteguhan hati, dan kemampuan untuk tidak melempar ponsel.
Sementara itu, inovasi di ruang-ruang rapat terdengar begitu megah. Diagram warna-warni, roadmap lima tahun, istilah-istilah Inggris yang membuat semua orang tampak pintar.
Namun begitu konsep agung itu menjejak dunia nyata, ia berubah menjadi ya papan iklan, video promosi, dan stiker “Program Inovasi” yang ditempel di pintu kantor.
Masalahnya? Semua itu tidak menyelesaikan persoalan yang sebenarnya.
Lebih lucu lagi, sering kali inovasi didesain bukan berdasarkan kebutuhan orang-orang yang akan menggunakannya, melainkan kebutuhan untuk terlihat inovatif.
Yang penting ada peluncuran. Ada peresmian. Ada dokumentasi. Urusan apakah inovasinya mempermudah atau menyulitkan? Itu urusan belakangan, atau bahkan tidak pernah dibahas lagi.
Kadang, inovasi seperti pesta eksklusif: undangan terbatas, acaranya mewah, dan kehadiran publik cukup sebagai dekorasi agar terlihat merakyat.
Yang menikmati kue besarnya adalah mereka yang berada di dekat panggung, sementara sisanya hanya dapat remah konsep yang tidak pernah tuntas dijalankan.
Dan masyarakat? Mereka diminta beradaptasi cepat dengan perubahan yang bahkan tidak mereka minta. “Ini era digital,” kata para pengambil keputusan.
“Semua harus melek teknologi.” Padahal mereka lupa bahwa akses adalah syarat pertama untuk melek.
Bagaimana bisa melek kalau internet saja putus-nyambung? Bagaimana bisa terbantu kalau aplikasi setengah jadi malah bikin pusing?
Pada akhirnya, pertanyaan “Inovasi untuk siapa?” bukan sekadar sindiran ini pengingat.
Bahwa inovasi seharusnya menjadi solusi, bukan sekadar slogan. Seharusnya dibuat dengan berpijak pada realitas, bukan hanya ambisi untuk terlihat modern.
Seharusnya menyentuh kehidupan orang banyak, bukan hanya menghias portofolio segelintir orang.
Karena inovasi yang tidak menggigit masalah, hanya akan menjadi pajangan manis: terlihat hebat, tapi tidak berguna.
Dan tanpa kesadaran itu, kita hanya akan terus membuat gebrakan yang terdengar keras… namun sebenarnya kosong, seperti drum yang dipukul terlalu sering.
Pada akhirnya, pertanyaan “Inovasi untuk siapa?” bukan hanya sindiran.
Ini adalah pertanyaan eksistensial yang lebih gelap dari kopi tanpa gula
Jadi, sekali lagi: inovasi untuk siapa?
Pertanyaan sederhana yang sering terlewat, tapi jawabannya menentukan apakah perubahan yang kita buat akan menjadi berkah… atau sekadar branding.
Komentar0