GUYoGpApTSrlBSY5TpC8BSd8Ti==

Industrialisasi Kabupaten Majalengka : Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Menyentuh Rakyat

Ilustrasi

SIDIKJARI, - Pegiat Media Sosial dan Pemerhati Kebijakan Publik Aris Setiawan menyampaikan melalui pesan whatsaApp ke wartawan sidikjari.co.id menimbulkan pertanyaan mendalam menurutnya apakah pertumbuhan ini benar-benar berdampak pada masyarakat Kabupaten Majalengka, kamis (10/07). 

Kabupaten Majalengka mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup impresif, yakni sebesar 6,38 persen. Di atas kertas, ini adalah angka yang mencerminkan optimisme, terutama bagi daerah yang sedang gencar membangun kawasan industri dan membuka lebar pintu investasi. Namun, pertanyaan pentingnya:

Bukti di lapangan justru menunjukkan ironi. Data BPS 2024 mencatat angka kemiskinan di Majalengka masih tinggi, mencapai 10,82 persen. Sebuah ironi besar di tengah gegap gempita industrialisasi. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, ungkap Aris Setiawan. 

Lebih mengherankan lagi, di tengah narasi mendorong investasi, Bupati Majalengka, Eman Suherman, justru terang-terangan menarik kembali dana investasi sebesar Rp171 miliar, yang awalnya direncanakan untuk penyertaan modal. Dana itu kemudian akan dialokasikan ulang untuk pembangunan infrastruktur. Sikap ini menimbulkan tanda tanya besar tentang arah dan konsistensi kebijakan pemerintah daerah terhadap dunia usaha, ujarnya. 

Lanjut Pegiat, “Aris Setiawan Abich, bahkan menyamakan gaya kepemimpinan semacam ini seperti "calo angkot"—gigih menarik investor (penumpang), namun ketika semuanya berjalan, justru bersikap pasif dan menikmati kenyamanan pribadi. Sebuah analogi tajam, namun tak sepenuhnya keliru.”

Sebagaimana diketahui, Majalengka tengah mengembangkan kawasan industri secara masif. Namun jika ditinjau dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) , hasilnya masih belum signifikan. PAD Majalengka tergolong rendah dibanding kabupaten/kota lain yang kawasan industrinya telah berjalan efektif. PAD majalengka saat ini ada di angka 524,519 M. 

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendalam:
Apakah industrialisasi ini benar-benar dirancang untuk menyejahterakan masyarakat?
Atau, hanya menjadi panggung besar bagi arus investasi tanpa kontribusi nyata terhadap daerah?

Bahkan untuk mencapai PAD yang wajar saja, Majalengka masih belum siap. Kawasan industri terus dikembangkan, namun kontribusinya terhadap kas daerah masih minim. Ini merupakan indikasi bahwa kebijakan pembangunan belum menyentuh sisi fundamental dari kemandirian ekonomi daerah. 

Lebih jauh lagi, Majalengka dihadapkan pada tantangan struktural yang serius di bidang pendidikan. Rata-rata lama sekolah di daerah ini masih setingkat SMP. Padahal, kawasan industri membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan terdidik. Artinya, ada kesenjangan besar antara kebutuhan dunia usaha dan kesiapan sumber daya manusia lokal, tegasnya. 

Alih-alih menjadi solusi atas pengangguran, industri justru belum mampu menyerap tenaga kerja lokal secara optimal, karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Jika masalah ini tidak ditangani dengan serius, maka industrialisasi hanya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi semu—tumbuh dalam angka, timpang dalam rasa.

Pemerintah memang telah meluncurkan program "Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana" sebagai solusi jangka panjang. Namun solusi cepat dan terjangkau yang menyentuh akar masalah justru disarankan oleh Aris Abich : "Satu Desa Satu PKBM" (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat).

Melalui PKBM, masyarakat yang tidak sempat mengenyam pendidikan formal dapat mengakses pendidikan kesetaraan dan keterampilan vokasional. Jika digarap serius, ini bisa menjadi langkah strategis dalam menaikkan rata-rata lama sekolah, meningkatkan kapasitas tenaga kerja, dan pada akhirnya menghubungkan industrialisasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, imbuhnya. 

Diakhir, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa pemerataan dan kesiapan masyarakat adalah kegagalan dalam perencanaan pembangunan. Jika Majalengka ingin industrialisasi benar-benar berdampak positif, maka kebijakan yang diambil harus menyasar masalah mendasar: pendidikan, partisipasi masyarakat, dan keberanian untuk berpihak.

Bila tidak, investasi akan terus datang—namun hanya sebagai lalu lintas modal, bukan sebagai jembatan kesejahteraan, tuntas Aris setiawan. (Sal).

Komentar0

Type above and press Enter to search.